Sarjana Pengangguran? Move On Segera! - PADANG LAWAS News

Kumpulan Berita Padang Lawas dan Sekitarnya

Breaking

IKLAN

PASANG IKLAN ANDA DISINI

Post Top Ad || gw1

loading...

Thursday, 26 January 2017

Sarjana Pengangguran? Move On Segera!


Oleh : Basuki, S.Pd

Indonesia dikenal memiliki potensi Sumber Daya Alam (SDA) yang memadai untuk dimanfaatkan demi kemaslahatan umat. Seperti tambang emas, batubara, Migas, ikan, juga flora dan fauna. Potensi ini harus diimbangi dengan Sumber Daya Manusia (SDM) berkompeten. Jika tidak, akan berakibat terjadinya penjualan bahan mentah kepada pihak yang mampu mengelola untuk diolah sehingga terjual dengan harga tinggi. Tingkat kreativitas, inovasi dan pembangunan sangat menentukan nilai suatu bangsa di mata dunia. Nilai tidak diukur dari luas wilayah atau jumlah penduduk. Namun, nilai bangsa diukur dari kualitas masyarakat—apa yang bisa dilakukannya untuk memperbaiki, menyiasati serta melakukan pembenahan di segala lini.

Dalam memperbaiki nilai bangsa di mata dunia sangat banyak yang bisa dilakukan. Salah satunya dengan memanfaatkan pemuda-pemudi untuk berperan serta dalam pembangunan, baik sosialisasi, maupun bantuan berupa ide/gagasan, serta sosial kontrol pembangunan.

Di Jogja, “Pencari kerja (Pencaker) yang terdata Dinsosnakertrans saat ini, terdiri dari 0,24% pencaker lulusan Sekolah Dasar, 1,68% lulusan Sekolah Menengah Pertama, 26,89% Sekolah Menengah Atas, 5,05% lulusan Diploma dan 60,14% lulusan Strata”[1].
Di kota Medan, seperti dikutip dari Koran Sindo.

“Berdasarkan data pencari kerja sepanjang 2014 yang masuk ke Dinas Sosial dan Tenaga Kerja (Dinsosnaker) hingga November 2014 tercatat 3.831 orang. Jumlah tersebut didominasi kalangan sarjana (S1) yang mencapai 2.186 orang. Kemudian disusul lulusan SMA 1.103 orang, sarjana muda (diploma) 446 orang, dan lulusan SMP 96 orang”[2].

Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa sangat banyak kalangan intelektual yang pengangguran. Jalan keluarnya “Sarjana, turun ke kampung”. Mindset ini perlu ditanamkan bagi pemuda-pemudi yang sedang menuntut ilmu di berbagai sekolah maupun perguruan tinggi di kota. Fenomena kesia-siaan pemuda-pemudi di Indonesia sangat bervariatif keadaannya. Mulai dari paradigma yang tak pulang kampung setelah mendapat gelar kesarjanaan, sampai takut mendapat celaan di desa. Akhirnya mereka bertahan di kota, padahal pengangguran.

Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri, sangat banyak dilihat para sarjana yang tinggal di kota karena gengsi. Padahal peran pemuda-pemudi dalam pembangunan sangat dibutuhkan, bukan sekedar syarat tetapi kebutuhan mutlak. Karena Saat bercengkrama dengan penulis senior (Budi Hatees), saya bertanya :
Apa yang bisa diperbuat untuk memperbaiki bangsa ini?
“Sarjana yang tak bekerja di kota pulang kampung”. Jawabnya singkat.

Yang tersisa di desa mereka yang mempunyai rentang usia didominasi 0-15 tahun, 45-100 tahun. Sementara usia 20-45 tahun lebih banyak tinggal di kota. Ada yang sekolah, bekerja, atau merantau demi menghindari buron. Dari kenyataan itu penulis berkesimpulan bahwa yang tersisa desa hanya mereka yang tak mampu berbuat apa-apa.

Mengingat ungkapan para pendahulu yang dikenal poda, demikian bunyinya “Opat ganjil, lima ganop” artinya empat ganjil, lima genap. Ungkapan bernilai filsafat ini mempunyai makna yang sangat dalam, yaitu saat musyawarah, harus ada harajaon, mora, kahanggi dan anak boru. Jika yang hadir hanya mewakili mereka, akan terasa ganjil jika tidak ada naposo nauli bulung (pemuda-pemudi). Dengan arti lain, naposo nauli bulung dalam struktur kerjasama dalam tata desa sangat krusial.

Peran pemuda-pemudi di desa sangat dibutuhkan untuk menjalankan program-program yang dicanangkan, mulai dari yang terkecil sampai hal yang terbesar. Misalnya dengan melaksanakan gotong royong dalam pesta pernikahan, kemalangan, dan kegiatan-kegiatan peringatan hari-hari besar. Di samping itu, Sangat banyak program pemerintah yang membutuhkan peran serta pemuda-pemudi dalam merealisasikan program-program, baik pembangunan infrastruktur, sosialisasi, monitoring serta penelitian-penelitian.

Pada kenyataannya, masyarakat memang agak sedikit terganggu dengan prilaku para pemuda-pemudi di zaman sekarang yang jauh dari harapan. Di sini penulis tidak mempermasalahkannya, saat ini bangsa Indonesia membutuhkan semangat membangun, bukan semangat mengkritik, memprotes dan berorasi. Yang dibutuhkan sekarang semangat berbuat dan bertanggung jawab atas apa yang harus dilakukan dan diprioritaskan.

Jika hanya menyinggung kebobrokan moral serta prilaku seseorang, sedikitpun tidak akan berpengaruh untuk memperbaiki potensi yang dimiliki oleh bangsa ini, malah para pemuda/i akan merasa minder dan merasa bersalah dengan apa yang sudah dilakukannya. Hukum alam yang berlaku, orang yang bersalah, sangat sedikit yang sadar dan mau berhenti melakukan kejahatan, tetapi mereka akan merasa bangga saat mereka diikutsertakan, dipercaya untuk melakukan suatu program dalam masyarakat.

Yang dibutuhkan pemuda-pemudi saat ini adalah diberi kepercayaan bahwa mereka mampu melaksanakan program yang akan dilakasanakan. Serta bimbingan dan arahan dari senior atau tetua adat. Sebagai kata kunci “pemuda-pemudi sebagai pelaksana, tetua yang membimbing dan mengarahkan (bukan menggurui dan menghakimi)”. Dengan demikian, para pemuda-pemudi akan lebih percaya diri dan penuh tanggungjawab untuk melaksanakannya. 

Manusia sebagai makhluk humanissaling membutuhkan satu sama lain untuk berbagai kepentingan. Seperti yang telah disampaikan di atas bahwa “opat ganjil lima ganop” akan terasa hidup apabila dalam pelaksanaannya diikuti oleh para pemuda-pemudi. Sebaliknya bakal ada kejanggalan dalam pelaksanaannya apabila pemuda-pemudi tidak ada.

Para tetua di desa tidak akan berpikir ulang apabila program yang ditawarkan mengandung nilai kebaikan. Sebaliknya, jika program tersebut mengancam keberlangsungan nilai-nilai budaya, moral, adat istiadat dan agama yang dipercaya, maka akan ditolak. Perlu sosialisasi agar masyarakat tidak sempat salah paham dengan program yang direncanakan. Selanjutnya, jika diberi kesempatan, berikan sesuatu yang mereka harapkan, jangan menyia-nyiakan waktu dan amanah yang diembankan. Dimana pun, setiap yang baru akan ada pro—kontra. Pro terjadi saat diketahui dampak positifnya—kontra  terjadi saat diketahui dampak negatifnya. Di sinilah perlu pendekatan, baik kerja sama kepala desa serta peran pemerintah daerah setempat untuk bersinergi saling bahu membahu melaksanakannya.

Pemerataan pembangunan akan terasa nyata apabila dimulai dari desa. Selama ini masyarakat desa tidak pernah merasa dipandang sebagai manusia. Setiap pergantian Kepala Desa, Kepala Daerah, hingga Kepala Negara, nasib mereka masih bergantung pada apa yang mereka lakukan. Untuk itu diperlukan pembangunan dari desa sebagai sentra terkecil dalam pembangunan dari desa yang dilakukan oleh pemuda-pemudi terbaik bangsa ini sebagai upaya untuk meningkatkan nilai bangsa di mata dunia. Mahasiswa berprestasi sebaiknya mengabdikan diri kepada desa tertinggal, bukan di instansi terkenal dan tertinggi, agar mereka sadar bahwa pedesaan sangat membutuhkan mereka.

Pemuda-pemudi yang sering bersaing dan berkompetisi mempunyai potensi untuk mengaplikasikan dan membutktikan dirinya punya mental di bidang teori maupun di dunia empiris untuk meningkatkan kualitas bangsa dari desa. Sering terlihat mahasiswa yang nilai akademiknya bagus, tapi dalam dunia empiris tidak bisa berbuat apa-apa. Akhir kata, semoga pemuda-pemudi terbaik bangsa Indonesia dapat mengharumkan nama bangsa serta meningkatkan nilai bangsa di mata dunia.

Mereka yang menelan pil pahit itulah yang akan merasa kenikmatan, yaitu setelah mereka sehat dari penyakit yang menderanya. Semoga para sarjana pengangguran di perkotaan segera membuang pemahaman bahwa tidak ada yang bisa berkembang di desa. Desa membutuhkan kalian saat ini untuk memperbaiki keutuhan NKRI, agama, nusa dan bangsa. Mari membangun dari desa.


No comments:

Post a Comment

Post Bottom Ad || gw4

loading...