Oleh : Basuki, S.Pd
Indonesia
dikenal memiliki potensi Sumber Daya Alam (SDA) yang memadai
untuk dimanfaatkan demi kemaslahatan umat.
Seperti tambang emas, batubara, Migas, ikan, juga flora dan fauna. Potensi ini
harus diimbangi dengan Sumber Daya Manusia (SDM) berkompeten. Jika tidak, akan berakibat
terjadinya penjualan bahan mentah kepada pihak yang mampu mengelola untuk diolah
sehingga terjual dengan harga tinggi. Tingkat
kreativitas, inovasi dan pembangunan sangat menentukan nilai suatu bangsa di
mata dunia. Nilai tidak diukur dari luas wilayah atau jumlah penduduk. Namun,
nilai bangsa diukur dari kualitas masyarakat—apa yang bisa dilakukannya untuk memperbaiki,
menyiasati serta melakukan pembenahan di
segala lini.
Dalam
memperbaiki nilai bangsa di mata dunia sangat banyak yang bisa dilakukan. Salah
satunya dengan memanfaatkan pemuda-pemudi
untuk berperan serta dalam pembangunan, baik sosialisasi, maupun bantuan berupa
ide/gagasan, serta sosial kontrol pembangunan.
Di
Jogja,
“Pencari kerja (Pencaker) yang terdata Dinsosnakertrans saat
ini, terdiri dari 0,24% pencaker lulusan Sekolah Dasar, 1,68% lulusan Sekolah
Menengah Pertama, 26,89% Sekolah Menengah Atas, 5,05% lulusan Diploma dan
60,14% lulusan Strata”[1].
Di
kota Medan, seperti dikutip dari Koran Sindo.
“Berdasarkan
data pencari kerja sepanjang 2014 yang masuk ke Dinas Sosial dan Tenaga Kerja
(Dinsosnaker) hingga November 2014 tercatat 3.831 orang. Jumlah tersebut
didominasi kalangan sarjana (S1) yang mencapai 2.186 orang. Kemudian disusul
lulusan SMA 1.103 orang, sarjana muda (diploma) 446 orang, dan lulusan SMP 96
orang”[2].
Berdasarkan
data di atas, dapat disimpulkan bahwa sangat banyak kalangan
intelektual yang pengangguran. Jalan keluarnya “Sarjana, turun ke kampung”. Mindset ini
perlu ditanamkan bagi pemuda-pemudi yang
sedang menuntut ilmu di berbagai sekolah maupun perguruan tinggi di kota.
Fenomena kesia-siaan pemuda-pemudi di Indonesia sangat
bervariatif keadaannya. Mulai dari paradigma yang tak pulang kampung setelah
mendapat gelar kesarjanaan, sampai takut mendapat celaan di desa. Akhirnya mereka
bertahan di kota, padahal pengangguran.
Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri, sangat banyak dilihat para sarjana yang
tinggal di kota
karena gengsi. Padahal peran pemuda-pemudi dalam pembangunan sangat dibutuhkan, bukan sekedar syarat
tetapi kebutuhan mutlak. Karena Saat bercengkrama dengan penulis senior
(Budi Hatees), saya bertanya :
“Apa
yang bisa diperbuat untuk memperbaiki bangsa ini?”
“Sarjana yang tak bekerja di kota pulang kampung”. Jawabnya singkat.
Yang tersisa di desa mereka yang
mempunyai rentang usia didominasi 0-15 tahun, 45-100 tahun. Sementara usia 20-45 tahun lebih
banyak tinggal di kota.
Ada yang sekolah, bekerja, atau merantau demi menghindari buron. Dari kenyataan
itu penulis
berkesimpulan bahwa yang tersisa desa hanya mereka yang tak mampu berbuat
apa-apa.
Mengingat ungkapan
para pendahulu yang dikenal
“poda”, demikian bunyinya “Opat ganjil,
lima ganop” artinya empat ganjil, lima genap. Ungkapan bernilai
filsafat ini
mempunyai makna yang sangat dalam, yaitu saat musyawarah, harus ada harajaon, mora, kahanggi dan anak boru. Jika yang
hadir hanya mewakili mereka, akan terasa ganjil jika tidak ada naposo nauli bulung (pemuda-pemudi). Dengan arti lain, naposo
nauli bulung dalam struktur kerjasama dalam tata desa sangat krusial.
Peran pemuda-pemudi di desa
sangat dibutuhkan untuk menjalankan program-program yang dicanangkan, mulai
dari yang terkecil sampai hal yang terbesar. Misalnya dengan melaksanakan
gotong royong dalam pesta pernikahan, kemalangan, dan kegiatan-kegiatan
peringatan hari-hari besar. Di samping itu, Sangat banyak program pemerintah yang membutuhkan peran
serta pemuda-pemudi
dalam merealisasikan program-program, baik pembangunan infrastruktur,
sosialisasi, monitoring serta penelitian-penelitian.
Pada kenyataannya, masyarakat memang agak sedikit terganggu
dengan prilaku para pemuda-pemudi
di zaman
sekarang yang jauh dari harapan. Di
sini penulis tidak mempermasalahkannya, saat ini bangsa Indonesia membutuhkan semangat membangun, bukan semangat mengkritik,
memprotes dan berorasi. Yang dibutuhkan sekarang semangat berbuat dan
bertanggung jawab atas apa yang harus dilakukan dan diprioritaskan.
Jika hanya menyinggung kebobrokan moral serta prilaku
seseorang, sedikitpun tidak akan berpengaruh untuk memperbaiki potensi yang
dimiliki oleh bangsa ini, malah para pemuda/i akan merasa minder dan merasa bersalah dengan apa yang
sudah dilakukannya. Hukum alam yang berlaku, orang yang bersalah, sangat sedikit yang sadar dan mau
berhenti melakukan kejahatan, tetapi mereka akan merasa bangga saat mereka diikutsertakan,
dipercaya untuk melakukan suatu program dalam masyarakat.
Yang dibutuhkan pemuda-pemudi saat ini adalah diberi kepercayaan bahwa mereka mampu
melaksanakan program yang akan dilakasanakan. Serta bimbingan dan arahan dari
senior atau tetua adat. Sebagai
kata kunci “pemuda-pemudi
sebagai pelaksana, tetua yang membimbing dan mengarahkan (bukan menggurui dan
menghakimi)”. Dengan demikian, para pemuda-pemudi akan lebih percaya diri dan penuh tanggungjawab untuk
melaksanakannya.
Manusia sebagai makhluk humanis—saling membutuhkan satu sama lain untuk berbagai kepentingan.
Seperti yang telah disampaikan di atas bahwa “opat ganjil lima ganop” akan terasa hidup apabila dalam
pelaksanaannya diikuti oleh para pemuda-pemudi. Sebaliknya bakal ada kejanggalan dalam pelaksanaannya
apabila pemuda-pemudi
tidak ada.
Para tetua di desa tidak akan berpikir ulang apabila program
yang ditawarkan mengandung nilai kebaikan. Sebaliknya, jika program tersebut
mengancam keberlangsungan nilai-nilai budaya, moral, adat istiadat dan agama
yang dipercaya,
maka akan ditolak. Perlu sosialisasi agar masyarakat tidak sempat salah
paham dengan program yang direncanakan. Selanjutnya, jika diberi kesempatan,
berikan sesuatu yang mereka harapkan, jangan menyia-nyiakan waktu dan amanah
yang diembankan. Dimana pun, setiap yang baru akan
ada pro—kontra. Pro terjadi saat diketahui dampak positifnya—kontra terjadi saat diketahui dampak negatifnya. Di sinilah perlu
pendekatan, baik kerja sama kepala
desa serta peran pemerintah daerah setempat untuk bersinergi saling bahu
membahu melaksanakannya.
Pemerataan pembangunan akan terasa nyata apabila dimulai dari
desa. Selama ini masyarakat desa
tidak pernah merasa dipandang sebagai manusia. Setiap pergantian Kepala Desa, Kepala Daerah, hingga Kepala Negara,
nasib mereka masih bergantung pada apa yang mereka lakukan. Untuk itu diperlukan pembangunan dari desa
sebagai sentra terkecil dalam pembangunan dari desa yang dilakukan oleh pemuda-pemudi terbaik bangsa ini
sebagai upaya untuk meningkatkan nilai bangsa di mata dunia. Mahasiswa
berprestasi sebaiknya mengabdikan diri kepada desa tertinggal, bukan di
instansi terkenal dan tertinggi, agar mereka sadar bahwa pedesaan sangat
membutuhkan mereka.
Pemuda-pemudi
yang sering bersaing dan berkompetisi mempunyai potensi untuk mengaplikasikan
dan membutktikan dirinya punya mental di
bidang teori maupun di dunia empiris untuk meningkatkan kualitas bangsa dari
desa. Sering terlihat
mahasiswa yang nilai akademiknya bagus, tapi dalam dunia empiris tidak
bisa berbuat apa-apa. Akhir kata, semoga pemuda-pemudi terbaik bangsa Indonesia dapat mengharumkan nama bangsa
serta meningkatkan nilai bangsa di mata dunia.
Mereka yang menelan pil pahit itulah yang akan merasa kenikmatan, yaitu
setelah mereka sehat dari penyakit yang menderanya. Semoga para sarjana pengangguran di perkotaan segera
membuang pemahaman bahwa tidak ada yang bisa berkembang di desa. Desa
membutuhkan kalian saat ini untuk memperbaiki keutuhan NKRI, agama, nusa dan
bangsa. Mari membangun dari desa.
No comments:
Post a Comment