TURUT BERDUKA ATAS APA YANG MENIMPA MASYARAKAT KEC. HURISTAK KAB. PADANG LAWAS
Persoalan ini Akan Terus Kita Kawal
Padang lawas newstop
Akhir-akhir ini sengketa lahan dan hutan antara masyarakat lokal dengan perusahaan HPH semakin mengemuka dan meluas. Berbagai kajian telah mengungkapkan bahwa permasalahan sengketa lahan hutan muncul sebagai akibat dari pengabaian hak-hak adat masyarakat atas hutan dan hasil hutan oleh perusahaan HPH. Alqadrie (1994: 255) mengemukakan bahwa pendapatan masyarakat lokal di Kec. Huristak, Kec. Barumun Tengah dan Kec. Lubuk Barumun telah mengalami penurunan drastis karena sumber-sumber ekonomi masyarakat dari hutan hilang akibat dari berkurangnya areal hutan dan perusakan tanaman masyarakat yang telah dilakukan Perusahaan HPH dan HGU HTI.
Bahwa masyarakat adat di di Kec. Huristak, Kec. Barumun Tengah dan Kec. Ulu Barumun terus memperjuangkan hak tanah ulayat mereka atas lahan hutan yang dimasukkan sebagai areal konsesi HPH, demikian pula sengketa perusakan tanaman Sawit, Karet dan Tanaman Sayur mayur yang hampir Panen antara masyarakat adat dengan perusahaan HPH dan Perkebunan Hutan Tanaman Industri (HTI). Keberadaan hak-hak adat atas tanah (lahan) dan hutan berdasarkan hukum adat memang secara empiris dapat ditemukan di berbagai wilayah Indonesia. Soepomo (1977: 3), ahli hukum adat Indonesia, juga menjelaskan bahwa hukum adat adalah suatu hukum yang hidup, karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat. Sesuai dengan fitrahnya, hukum adat terus-menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri. Kemudian Ahli hukum adat Indonesia, Ter Haar (1960: 56) mengemukakan: "Hubungan hidup antara umat manusia yang teratur susunannya dan bertalian satu sama lain disatu pihak dan tanah dilain pihak, yaitu tanah dimana mereka berdiam, tanah yang memberi makan mereka, tanah dimana mereka dimakamkan dan yang menjadi tempat kediaman orang-orang halus pelindungnya beserta arwah leluhurnya, tanah dimana meresap daya-daya hidup, termasuk juga hidupnya ummat itu dan karenanya tergantung dari padanya, maka pertalian demikian itu yang dirasakan dan berakar dalam alam pikirannya "serba berpasangan" (participerend denken) itu dapat dan seharusnya dianggap sebagai pertalian hukum (rechtsbetrekking) ummat manusia terhadap tanah. Van Vollenhoven (dikutip oleh Soepomo, 1977: 11) berpendapat bahwa jikalau dari atas telah diputuskan untuk mempertahankan hukum adat padahal hukum itu sudah mati, maka peraturan-peraturan itu sia-sia belaka. Sebaliknya seandainya telah diputuskan dari atas bahwa hukum adat harus diganti, padahal di desa-desa, di ladang-ladang, dan di pasarpasar hukum itu masih kokoh dan kuat, maka hakim akan sia-sia belaka. Pertentangan antara hukum nasional dan hukum adat maupun upaya menyatukan hukum adat untuk membangun hukum nasional telah menjadi wacana hampir di seluruh negara-negara yang baru merdeka. "Satu hukum adat umum Indonesia tidak ada", suatu pernyataan yang ditegaskan oleh ahli dan perintis hukum adat Indonesia, van Vollenhoven (1972: 13). Van Vollenhoven menyusun 29 lingkaran hukum adat di Indonesia, yang menunjukkan beraneka warna hukum adat di Indonesia. Namun demikian van Vollenhoven (1972: 13) menyarankan bahwa lebih baik mengusahakan kodifikasi hukum adat dalam garis-garis besarnya saja sehingga kodifikasi itu dapat berlaku untuk wilayah seluas mungkin, dengan adanya ruang gerak bagi penyimpangan-penyimpangan setempat, yakni aturan-aturan yang khas setempat tetap berlaku. Keberadaan dan keberlakukan hukum adat pada masyarakat tersebut menunjukkan bahwa hukum positif formal bukanlah satu-satunya wujud hukum.
Dengan demikian pluralisme hukum (legal pluralism) memang sesuatu yang faktual. Dalam situasi sengketa, keberadaan dan keberlakuan pluralisme hukum menjadi lebih nyata. Fokus kajian ini adalah menyoroti kasus sengketa dengan perspektif antropologi hukum, bagaimana masing-masing pihak yang bersengketa melakukan pilihan hukum dalam proses penyelesaian sengketa tersebut. Sengketa yang disoroti adalah sengketa lahan antara masyarakat lokal dengan perusahaan HPH PT. SSL/ SLR di Kab. Padang Lawas.
Saya selaku Penegak Hukum dari Kantor Donna Siregar & Partners dan Ketua Plt. Mahkamah Keadilan Kabupaten Padang Lawas mengucapkan "Turut berduka cita" atas apa yang menimpa Masyarakat di Kec. Huristak, Barumun Tengah dan Kec. Lubuk Barumun yang menjadi korban kesewenang wenangan Perusakan lahan oleh Perusahaan PT. SSL terhadap masyarakat yang terletak (APL) Areal Penggunaan Lainnya, yang diperkuat dari SK. Menhut No. 44 Tahun 2005, Peta Areal HTI PT. SSL SK No. 36/Kpts-II/97, dan Peta Keterangan Status Lahan No. 525/155.a/VIII/2008 yang dimiliki Masyarakat Desa Ramba, dipastikan "Lokasi Tempat Kejadian Perkara berada pada Areal Penggunaan Lain (APL) dan di luar Areal Konsesi PT. SSL.
Seharusnya dilakukan lagi Penetapan dan Penegasan Batas, sesuai dengan Pasal 2 Permendagri No. 27 tahun 2006 tentang Penetapan dan Penegasan Batas Desa yaitu Penetapan dan penegasan Batas desa untuk memberikan kepastian hukum terhadap batas desa di wilayah darat dan sebagai acuan dalam melaksanakan kegiatan penetapan dan penegasan Batas desa secara tertib dan terkoordinasi. Lebih lanjut lagi dalam Surat Edaran Menteri Kehutanan No. SE.1/Menhut-II/2012 Tentang Pelaksanaan Tata Batas Areal Izin Usaha Pemanfaatan Hutan khususnya yang terdapat di dalam Point 1 Umum yang menjelaskan bahwa "Banyaknya terjadi klaim masyarakat pada areal yang telah dibebani izin pemanfaatan hutan, untuk itu perlu percepatan pelaksanaan tata batas areal izin pemanfaatan hutan. Penundaan batas temu gelang harus segera dilaksanakan untuk adanya kepastian hukum atas areal dan kepastian berusaha bagi perusahaan pemegang izin, serta menghindari konflik dengan masyarakat atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan areal tersebut" .
Don Siregar SH mengatakan; Terkait persoalan konflik agraria seluas sekitar ± 500 hektare, yang terjadi antara masyarakat petani dari kec. Huristak di daerah Kabupaten Padang Lawas (Palas), yakni dengan PT. Sumatera Silva Lestari (PT.SSL), karena sebagian masyarakat Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kab. Padang Lawas seharusnya Aktif untuk melakukan Mediasi antara Masyarakat korban Perusakan Tanaman terhadap PT. SSL. Beberapa masyarakat korban Perusakan tanaman ini adalah Pembeli, dari Hasil Rapat Kamar Perdata Mahkamah Agung RI Sub Kamar Perdata Umum, oleh Hakim-Hakim Agung Kamar Perdata yang diselenggarakan pada tanggal 14 sampai dengan tanggal 16 Maret 2011 di Hotel Aryaduta Tanggerang, dan dari hasil rapat tersebut salah satunya dirumuskan seperti yang terlihat dalam Point-IX, yang menegaskan bahwa "Perlindungan harus diberikan kepada pembeli yang beritikad baik sekalipun kemudian diketahui bahwa penjual adalah orang yang tidak berhak (objek jual beli tanah), dan pemilik asal hanya dapat mengajukan gugatan ganti rugi kepada penjual yang tidak berhak". Hal ini juga sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor: 214/K/Pdt/2011;
Lebih lanju Pengacara Muda ini mengatakan; Saya duga, secara Hukum Perusakan yang dilakukan PT. SSL terhadap tanaman masyarakat Kec. Huristak dan sekitarnya adalah merupakan Perbuatan Melawan Hukum Dalam Pasal 1365 KUHPerdata mengandung 3 (tiga) syarat yang harus dipenuhi agar dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum yaitu "adanya tindakan yang melawan hukum, adanya kesalahan pada pihak yang melakukannya, dan ada kerugian yang di derita" (Lebih lanjut lihat Elise .T. Sulistini dan Rudy. T. Erwin, Petunjuk Praktis Menyelesaikan Perkara-perkara Perdata, Bina Aksara, Jakarta, 1987, Halaman 26). Hal serupa juga diungkapkan oleh M. Yahya Harahap yang mengatakan bahwa ada 3 (tiga) hal yang penting dalam menilai perbuatan melawan hukum seperti yang diamanatkan Pasal 1365 KUHPerdata yaitu adanya perbuatan atau kealfaan, perbuatan atau kealfaan terjadi karena kesalahan pelaku, dan perbuatan itu mendatangkan kerugian kepada orang lain/Penggugat (Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, Halaman 527);. Tetapi kita tetap berpegang pada "asas Persumsion of innocence" yaitu asas Praduga tidak bersalah.
Untuk itu kita dari Kantor Hukum Donna Siregar SH & Partners dan Mahkamah Keadilan akan mengawal terus permasalahan ini, dan kita akan menjalin komunikasi intensif dengan berbagai Organisasi kepemudaan yang benar benar mau berjuang untuk kepentingan rakyat. Untuk selanjutnya kita akan koordinasi dengan Kepala desa yang ada di Kec. Huristak.
Vox populi, vox dei yaitu "suara rakyat adalah suara Tuhan." Artinya, suara rakyat harus dihargai sebagai penyampai kehendak Ilahi. Konteks dari perkataan ini ialah ucapan hakim yang meneguhkan suara para juri dalam perkara di pengadilan.Tegasnya...
No comments:
Post a Comment