SECERCA HARAPAN
FANATISME POLITIK
KAB. PlADANG LAWAS
Oleh:D Siregar.SH
Adpokat.
Padang lawas News
Niccolo Machiavelli, melekat dengan stigma buruk yang menghalalkan segala cara untuk merebut kekuasaan. Namun, menurut R William Liddle, justru Machiavelli menyumbangkan sebuah kerangka berharga, yang bisa menjadi pemandu persoalan-persoalan demokrasi abad ini.
Target persuasinya adalah pemerintahan itu sendiri, masyarakat, serta para pemilih melalui pers dan lembaga opini publik.
Ketika ingin menegakkan dalam segi toleransi agama misalnya, Calon Pemimpin seharusnya mengikuti tahapan di atas. Calon Pemimpin harus terlibat sepenuhnya, dan memberikan gagasan, pemikiran dan sikap yang jelas serta dimengerti oleh Masyarakat. Nafsu Machiavelli untuk meraih kekuasaan sepertinya belum sirna dari wajah demokrasi. Kita tentu masih ingat pada 2013 lalu dimana 3 kandidat yang ada saat ini adalah rivalitas dan Peserta yang telah 2 (dua) kali berkontestasi dan masing-masing mepunyai Pendukung fanatik. Prilaku Fanatisme ini menunjukkan pilkada selalu identik dengan Megolok, hujat dan saling menjatuhkan dan berbagai kecurangan. Tragisnya, hal ini merembet ke Media Sosial yang semakin ngaur, jelas mencederai semangat Pilkada Damai yang telah Digalakkan KPU Kab. Padang Lawas, Bawaslu, Panwaslu Kab. Padang Lawas, Polres Tapanuli Selatan dan Kejaksaan. yang telah sama sama di setujui oleh masing-masing kandidat. Seyogyannya dalam tahap kampanye harus memberikan Pembelajaran Politik kepada Masyarakat Khususnya Kab. Padang Lawas. Dimana Secara Eksplisit dinyatakan dalam Pasal 63 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan kedua atas UU NO. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Walikota dan Bupati Menjadi Undang-undang.
Kita sungguh prihatin dengan kondisi tersebut, dengan sikap kelompok Simpatisan dan fanatisme masyarakat yang belum hilang dari budaya politik konservatifnya, yang selalu menganggap bahwa kemenangan adalah tujuan utama kontestasi dalam Politik, simbol harga diri yang dipertaruhkan dan kehormatan, sehingga segala cara ditempuh untuk kemenangan meski harus mengorbankan nilai-nilai kearifan Lokal dan Norma-norma yang berlaku. Masyarakat Padang Lawas yang kental dengan Sopan santun, bahu-membahu dan tentunya saling mengingatkan untuk kesejahteraan daerah ini. Semangat Pilkada langsung dibentuk sebagai instrumen elektoral untuk membangun budaya politik yang lebih dewasa, sportif, jujur, adil, rahasia serta konsekuen menjalankan keputusan hukum.
Politik dewasa mestinya selalu memberi ruang keterbukaan diri terhadap aturan dan berbagai kerangka sistem politik yang mendasari pelaksanaan proses pilkada. Selain itu, kedewasaan berdemokrasi selalu diukur dengan menerima hasil kontestasi dengan Jiwa besar walauopun itu menyakitkan.
Sayangnya, pikiran ideal tersebut hanya di atas kertas. Intensitas yang kuat memenangi pertarungan politik karena berbagai konsesi politik yang dirajut di belakang layar, belum lagi politik yang tidak sehat penuh propaganda para pemegang kepentingan, membuat masyarakat khususnya pendukung calon kepala daerah tertentu terjerat dalam lingkaran "Fanatisme Politik Sesat". Apa pun hasil kandidat yang dijagokan harus menjadi pemenang. Kalau tidak menang yang didukung, maka kerap berbagai tuduhan kecurangan terhadap para petugas penyelenggara pemilu, bahkan rakyat yang mestinya menikmati perayaan pilkada tetapi ikut pula ditumbalkan sebagai kausalitas kekalahan kandidat tersebut. Yang pada akhirnya semua Pendukung akan melebur menjadi warna penguat untuk Demokrasi.
Akhir kata, "Keadilan tidak akan ada dalam Negara Demokrasi yang mengedepankan Fanatisme Politik"
No comments:
Post a Comment